Selamat Datang

Mudah-mudahan dapat memberi manfaat

Selamat Tahun Baru Hijriyah 1434 H

Semoga semangat hijrah senantiasa tertanam dalam diri kita agar hari ini jauh lebih baik dari hari kemarin...

Save Palestine

Doakan saudara-saudara kita yang tertindas di Palestina dan dukung perjuangan mereka

Free Palestine

Bebaskan Palestina dari cengkraman Yahudi

Drama Islami

Mahasiswa STAI Al-Azhar Makassar, yang mengadakan kegiatan Drama Islami dan diikuti dari berbagai jurusan. Kegiatan ini dalam rangka mengokohkan hubungan persaudaraan dan kerjasama antar kelompok.

26 November 2012

Perbedaan Antara Qadha dan Qadar

http://www.alkul.com/online/2012/11/1/5/__online.jpgBismillahirrahmanirrahim...
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah swt. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi dan teladan kita Muhammad saw. kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya, sampai hari pembalasan.

Ikhwah dan teman-teman pembaca budiman...kali ini kita akan sedikit membahas tentang perbedaan antara Qadha (قضاء) dan Qadar (قـدر) dengan maksud mudah-mudahan bisa menambah wawasan dan pemahaman aqidah kita. Amiiiiin....

Ulama' berbeda pendapat dalam masalah perbedaan antara Qadha dan Qadar. Setidaknya terbagi dalam dua kelompok pendapat.
Kelompok pertama, mereka berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara Qadha dan Qadar karena setiap dari keduanya memiliki makna yang sama dalam penggunaannya dalam kalimat. Apabila salah satu dari keduanya disebutkan maka itu juga meliputi yang lain, dan inilah pendapat yang kuat menurut ulama' karena beberapa hal:
  • Orang yang membedakan antara keduanya, mereka tidak memiliki dalil yang jelas dari Qur'an maupun Sunnah yang membahas secara rinci hal ini.
  • Penggunaan salah satu dari keduanya dalam kalimat yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan antara ke-2nya.
  • Bahwasanya tidak ada manfaat dalam membedakan kedua kata itu karena sudah disepakati bahwa jika disebutkan salah satunya berarti meliputi yang lain, dan juga tidak adanya larangan dalam menyamakan keduanya.
Kelompok kedua, mereka yang membedakan antara Qadha dan Qadar, namun kelompok ini sendiri berbeda dalam menjelaskan perbedaan Qadha dan Qadar ini dan tidak adanya pendapat yang menarik kecuali pendapat yang mengatakan...
"bahwasanya Qadha itu sesuatu yang telah terjadi, dan apa-apa yang belum terjadi itulah Qadar"

Wallahu a'lam...

Note: Qadha' (keputusan) Qadar (takdir/ketetapan)
Sumber

25 November 2012

Hukum Shalat sambil Membaca Mushaf

http://sphotos-a.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/182065_493795347319215_1457803990_n.jpgBismillahirrahmanirrahim...
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah swt. yang senantiasa memberikan berbagai macam nikmat-Nya kepada kita. Shalawat dan salam kita curahkan kepada suri teladan kita Nabi Muhammad saw., sahabatnya, keluarga dan seluruh orang-orang yang istiqamah di jalan-Nya.

Sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang shalat, baik imam ataupun shalat sendiri, untuk membaca surah Al-Fatihah di setiap raka'at dalam shalat fardhu maupun sunnah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب) متفق عليه)

"Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca surah Al-Fatihah" (HR. Bukhari-Muslim)
dan membaca surah setelah Al-Fatihah merupakan sunnah mu'akkadah dalam setiap dua rakaat awal dalam shalat.


Adapun membaca Al-Quran dengan menggunakan mushaf dalam shalat, maka kita lihat penjelasan berikut ini:
  1. Tidak disyari'atkan untuk membaca mushaf dalam shalat-shalat FARDHU, karena tidak adanya contoh dari Rasulullah saw. demikian juga tidak seorangpun dari sahabatnya yang pernah menggunakan mushaf dalam shalat. Hal ini juga sesuai dengan sabda Rasulullah saw. bahwa "hendaknya yang menjadi imam itu adalah orang yang paling banyak hafalannya" (HR. Bukhari) jadi, dengan banyaknya hafalan ia tidak lagi menggunakan mushaf dalam shalatnya. Para ulama juga memakruhkan dan tidak ada keringanan dalam hal ini. Bahkan madzhab Abu Hanifah mengatakan shalat orang yang menggunakan mushaf itu batal, kalaupun shalat itu sah namun dihukumi makruh karena tidak menjaga sunnah-sunnahnya seperti melihat ke t-4 sujud dan hanya fokus pada bacaannya. OLEH karena itu, bagi saudara-saudaraku yang bersemangat untuk memanjangkan bacaan shalat Fardhunya namun tidak memiliki hafalan yang cukup, hendaknya membaca apa yang mudah baginya, dan jika sekiranya hanya menghafal satu surah maka itu saja yang ia ulang-ulangi.
  2. Adapun dalam shalat-shalat sunnah, maka tidak berdosa dan tidak apa-apa menggunakan mushaf, terlebih lagi dalam shalat2 malam, Qiyam Ramadhan. Sementara menurut madzhab Syafi'i dan Hambali membolehkan membaca mushaf dalam shalat sunnah maupun fardhu, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Baihaqi dari 'Aisyah.
 عن عائشة زوج النبي - صلى الله عليه وسلم - أنها كان يؤمها غلامها ذكوان في المصحف في رمضان
"Dari 'Aisyah istri Nabi saw. bahwasanya dia memerintahkan Zakwan untuk mengimami anak-anaknya dengan menggunakan mushaf pada bulan Ramadhan".

Az-Zuhri pernah ditanya tentang orang yang membaca mushaf dalam qiyam Ramadhan, lalu dia menjawab: "itu adalah pilihan bagi kita untuk menggunakan mushaf".
Imam Ahmad bekata: "Tidak apa-apa bagi orang yang shalat sambil melihat mushaf. Lalu ditanya, dalam shalat fardhu? Beliau menjawab: Aku tidak pernah mendengar hal itu".

Semoga bermanfaat Kawand...

Sumber

20 November 2012

Pantai Pamboang, Majene











19 November 2012

Hubungan antara Dosa dan Bencana

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِي اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
أَمَّا بَعْدُ؛
أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُؤْمِنُوْنَ الْمُتَّقُوْنَ، وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.

Ma’assyirol muslimin, rahimakumullah
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah Subhannahu wa Ta'ala yang telah menjadikan kita sebagai hamba-hambaNya yang beriman, yang telah menunjuki kita shiratal mustaqim, jalan yang lurus, yaitu jalan yang telah ditempuh orang-orang yang telah diberi ni’mat oleh Allah, dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin.
Saya bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan RasulNya, semoga shalawat dan salam selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau dengan baik hingga hari kiamat.

Selanjutnya dari atas mimbar ini, perkenankanlah saya menyampaikan wasiat kepada saudara-saudara sekalian dan kepada diri saya sendiri, marilah kita tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala selama sisa umur yang Allah karuniakan kepada kita, dengan berusaha semaksimal mungkin menjauhi larangan-laranganNya dan melaksanakan perintah-perintahNya dalam seluruh aktivitas dan sisi kehidupan. Sungguh kita semua kelak akan menghadap Allah sendiri-sendiri untuk mempertang-gungjawabkan seluruh aktivitas yang kita lakukan. Pada hari itu, hari yang tidak diragukan lagi kedatangannya, yaitu hari kiamat, tidak akan bermanfaat harta benda yang dikumpul-kumpulkan dan anak yang dibangga-banggakan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang salim, hati yang betul-betul bersih dari syirik sebagaimana firmanNya dalam Surat Asy-Syu’aro ayat 88-89:
(Yaitu) di hari harta dan anak laki-laki tidak berguna, kecuali bagi orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (Asy-Syu’ara’: 88-89)

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullahDalam kesempatan khutbah Jum’at kali ini saya akan membahas tentang hubungan antara dosa dan bencana yang menimpa umat manusia sebagaimana yang diterangkan di dalam Al-Qur’an. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman dalam Surat Ar-Ruum ayat 41 yang berbunyi:
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”

Allah juga berfirman dalam Surat An-Nahl ayat 112:
Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”

Seorang ulama’ yang bernama Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu memberi ulasan terhadap kedua ayat tersebut dengan mengatakan: “Ayat-ayat yang mulia ini memberi pengertian kepada kita bahwa Allah itu Maha Adil dan Maha Bijaksana, Ia tidak akan menurunkan bala’ dan bencana atas suatu kaum kecuali karena perbuatan maksiat dan pelanggaran mereka terhadap perintah-perintah Allah” (Jalan Golongan Yang Selamat, 1998:149)

Kebanyakan orang memandang berbagai macam musibah yang menimpa manusia hanya dengan logika berpikir yang bersifat rasional, terlepas dari tuntutan Wahyu Ilahi. Misalnya terjadinya becana alam berupa letusan gunung berapi, banjir, gempa bumi, kekeringan, kelaparan dan lain-lain, dianggap sebagai fenomena kejadian alam yang bisa dijelaskan secara rasional sebab-sebabnya. Demikian dengan krisis yang berkepanjangan, yang menimbulkan berbagai macam dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga masyarakat tidak merasakan kehidupan aman, tenteram dan sejahtera, hanya dilihat dari sudut pandang logika rasional manusia. Sehingga, solusi-solusi yang diberikan tidak mengarah pada penghilangan sebab-sebab utama yang bersifat transendental yaitu kemaksiatan umat manusia kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala Sang Pencipta Jagat Raya, yang ditanganNyalah seluruh kebaikan dan kepadaNya lah dikembalikan segala urusan.

Bila umat manusia masih terus menerus menentang perintah-perintah Allah, melanggar larangan-laranganNya, maka bencana demi bencana, serta krisis demi krisis akan datang silih berganti sehingga mereka betul-betul bertaubat kepada Allah.

Ikhwani fid-din rahimakumullah
Marilah kita lihat keadaan di sekitar kita. Berbagai macam praktek kemaksiatan terjadi secara terbuka dan merata di tengah-tengah masyarakat. Perjudian marak dimana-mana, prostitusi demikian juga, narkoba merajalela, pergaulan bebas semakin menjadi-jadi, minuman keras menjadi pemandangan sehari-hari, korupsi dan manipulasi telah menjadi tradisi serta pembunuhan tanpa alasan yang benar telah menjadi berita setiap hari.

Pertanyaannya sekarang, mengapa segala kemungkaran ini bisa merajalela di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas muslim ini? Jawabannya adalah tidak ditegakkannya kewajiban yang agung dari Allah Subhannahu wa Ta'ala yaitu amar ma’ruf nahi mungkar, secara serius baik oleh individu maupun pemerintah sebagai institusi yang paling bertanggung jawab dan paling mampu untuk memberantas segala macam kemungkaran secara efektif dan efisien. Karena pemerintah memiliki kekuatan dan otoritas untuk melakukan, meskipun kewajiban mengingkari kemungkaran itu merupakan kewajiban setiap individu muslim sebagaimana sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ.
Artinya: “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah merubahnya dengan tangannya, bila tidak mampu ubahlah dengan lisannya, bila tidak mampu ubahlah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman” (Hadits shahih riwayat Muslim)

Namun harus diketahui bahwa memberantas kemungkaran yang sudah merajalela tidak hanya dilakukan oleh individu-individu, karena kurang efektif dan kadang-kadang beresiko tinggi. Sehingga kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar itu bisa dilakukan secara sempurna dan efektif oleh pemerintah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Usman bin Affan Radhiallaahu anhu, khalifah umat Islam yang ketiga:
“Sesungguhnya Allah mencegah dengan sulthan (kekuasaan) apa yang tidak bisa dicegah dengan Al-Qur’an”
Disamping itu amar ma’ruf nahi mungkar merupakan salah satu tugas utama sebuah pemerintahan, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
“Sesungguhnya kekuasaan mengatur masyarakat adalah kewajiban agama yang paling besar, karena agama tidak dapat tegak tanpa negara. Dan karena Allah mewajibkan menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar, menolong orang-orang teraniaya. Begitu pula kewajiban-kewajiban lain seperti jihad, menegakkan keadilan dan penegakan sanksi-sanksi atau perbuatan pidana. Semua ini tidak akan terpenuhi tanpa adanya kekuatan dan pemerintahan” (As Siyasah Asy Syar’iyah, Ibnu Taimiyah: 171-173).

Apabila kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar itu tidak dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka sebagai akibatnya Allah akan menimpakan adzab secara merata baik kepada orang-orang yang melakukan kemungkaran ataupun tidak. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, dalam sebuah haditst Hasan riwayat Tarmidzi:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشَكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَ يُسْتَجَابَ لَكُمْ.
Artinya: “Demi Allah yang diriku berada di tanganNya! Hendaklah kalian memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar atau Allah akan menurunkan siksa kepada kalian, lalu kalian berdo’a namun tidak dikabulkan”.

Demikian pula Allah menegaskan di dalam QS. Al-Maidah ayat: 78-79, bahwa salah satu sebab dilaknatnya suatu bangsa adalah bila bangsa tersebut meninggalkan kewajiban saling melarang perbuatan mungkar yang muncul di kalangan mereka.
Artinya: “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. Mereka satu sama lain tidak melarang perbuatan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka perbuat”

Yang dimaksud laknat adalah dijauhkan dari rahmat Allah Subhannahu wa Ta'ala . Dengan demikian supaya bangsa ini bisa keluar dan terhindar dari berbagai krisis dalam kehidupan di segala bidang dan selamat dari beragam musibah dan bencana, hendaklah seluruh kaum muslimin dan para pemimpin atau penguasa mereka, bertaubat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dengan memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang perbuatan-perbuatan mungkar sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing, mentaati Allah Ta’ala dan menjauhi seluruh larangan-larangan dalam seluruh aspek kehidupan.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.


Materi disampaikan pada hari Jum'at 13 Juli 2012
di Masjid Al-Fath Pontada Sorowako.

Agar Kebaikan kita Senantiasa Terjaga

Bismillahirrahmanirrrahim...

http://menitijalanyglurus.files.wordpress.com/2011/09/kebaikan.jpg?w=500Ikhwah Fillah, Rahimakumullah
Setiap orang pasti mengharapkan sesuatu yang bisa membuatnya senantiasa berada dalam kebaikan. Mengharapkan agar selalu istiqamah dalam mengerjakan kebaikan-kebaikan, bahkan meng harapkan mati dalam keadaan husnul khatimah (happy ending). Di samping itu Allah Swt. juga memerintahkan kita dalam salah satu ayat yang sering kita dengar, "Wahai orang-orang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim/berserah diri." (QS. Ali Imran: 102)

Ayat tersebut sangat jelas bahwa kita diperintahkan untuk senantiasa istiqamah dalam kebaikan. Namun, kita sadari hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, bahkan kita tidak tahu cara untuk mempertahankan kebaikan yang kita lakukan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan kita bahas tentang cara menjaga kebaikan kita senantiasa terjaga.

Allah Swt. berfirman dalam QS. Ali Imran: 164
"Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata."

Ayat ini secara global berbicara tentang pola dan materi dakwah Rasulullah saw. yang secara korelatif dapat ditemukan ayat yang semakna dengannya dalam beberapa ayat dalam Al-Qur'an, di antara adalah surah Al-Jumu'ah ayat 2, ditambah dengan proses pencerdasan dengan ilmu pengetahuan yang dinyatakan dalam surah Al-Baqarah ayat 151 "Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu), Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah (Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui."

Paling tidak dapat dirumuskan, ada 4 tanggungjawab dan kewajiban seorang da'i agar kebaikan itu senantiasa terjaga.
  1. Menyampaikan ajaran Allah dan memperkenalkannya kepada seluruh manusia. Inilah yang diistilahkan dengan tahapan tabligh.
  2. Mensucikan jiwa mereka melalui tahapan tazkiyah.
  3. Mengajarkan mereka dalam sebuah proses dan mekanisme ta'lim yang tersusun dan berkesinambungan. dan...
  4. Mencerdaskan mereka dengan tatsqif.
Keempat hal di atas, selain merupakan tugas pokok seorang da'i terhadap orang lain, sesungguhnya harus dimaknai sebagai sebuah peringatan yang sangat berharga yang harus diimplementasikan dalam bentuk muhasabah (evaluasi) dan muhafazhah (pemeliharaan). Muhasabah dan muhafazhah merupakan dua proses yang harus senantiasa mengiringi kehidupan para da'i agar dia tidak larut dengan aktivitas untuk kebaikan orang lain dan melupakan pengokohan dan peningkatan kualitas dirinya dalam berbagai aspek.

Betapa amaliah muhasabah dan muhafazhah merupakan amaliah yang padu yang sangat urgent bagi para da'i di tengah kritikan dan cibiran mereka yang memang sejak dari awal apriori terhadap aktivitas dakwah.
Dalam hal ini, komitmen seorang da'i dalam menjadikan Al-Qur'an sebagai referensi dalam segala aktivitas dakwah, akan memberikan dua kekuatan sekaligus, yaitu quwwah nafsiyyah (kekuatan spiritual) dan quwwah khuluqiyyah (kekuatan moralitas), dan memang keberhasilan dakwah ditentukan oleh dua potensi tersebut. Karena kekuatan spiritual merupakan bukti kedekatannya dengan Allah Swt., sementara kekuatan moralitas merupakan cermin penerimaan dakwahnya di tengah-tengah umat.

Menurut Dr. Ali Abdul Halim Mahmud dalam bukunya "Fiqh Dakwah", proses meraih dua kekuatan tersebut harus melalui tahapan yang hampir sama dengan tugas para da'i. Tahapan atau proses tarqiyyah (peningkatan) dan muhafazhah (pemeliharaan) kebaikan para da'i tersebut adalah: pertama, proses tathhir, yakni pembersihan diri dari segala dosa dan maksiat. Kedua, proses tazkiyah, yaitu memperkuat diri dengan amal-amal ketaantan. Ketiga, tarqiyyah, yaitu meningkatkan kualitas jiwa hingga mencapai derajar wara' dalam segala hal.

Untuk meraih kekuatan moralitas bisa dicapai melalui 4 tahapan, di antaranya:
  1. Tathhir, yaitu dengan membersihkan diri dari sikap emosional dan keras kepala.
  2. Tazkiyah, yaitu mensucikan akhlak dan perilaku dengan komitmen bersama adab-adab Islam.
  3. Tarqiyyah, meningkatkan akhlak dengan mengambil suri-tauladan akhlak Rasulullah saw.
  4. Tauthin dan tatsbit, yaitu pembumian dan pengokohan akhlak-akhlak Islami dalam diri yang tercermin dalam semua keadaan.
Sehingga dengan penuh keyakinan dan percaya diri seorang da'i melaungkan (menyerukan dengan suara nyaring dan keras) sikap yang disebutkan dalam Al-Qur'an,
"Katakanlah: "Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik." (QS. Yusuf: 108).

Sumber: Buku Tafsir Da'awi