إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ
نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ
أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِي اللهُ فَلاَ مُضِلَّ
لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ
وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَ
هُدَاهُ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
أَمَّا بَعْدُ؛
أَيُّهَا
الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ
الْمُؤْمِنُوْنَ الْمُتَّقُوْنَ، وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ
التَّقْوَى.
Ma’assyirol muslimin,
rahimakumullah
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat
Allah Subhannahu wa Ta'ala yang telah menjadikan kita sebagai hamba-hambaNya
yang beriman, yang telah menunjuki kita shiratal mustaqim, jalan yang lurus,
yaitu jalan yang telah ditempuh orang-orang yang telah diberi ni’mat oleh Allah,
dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin.
Saya bersaksi bahwa tidak ada ilah yang
berhak untuk diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan
RasulNya, semoga shalawat dan salam selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad,
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau
dengan baik hingga hari kiamat.
Selanjutnya dari atas mimbar ini,
perkenankanlah saya menyampaikan wasiat kepada saudara-saudara sekalian dan
kepada diri saya sendiri, marilah kita tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah
Subhannahu wa Ta'ala selama sisa umur yang Allah karuniakan kepada kita, dengan
berusaha semaksimal mungkin menjauhi larangan-laranganNya dan melaksanakan
perintah-perintahNya dalam seluruh aktivitas dan sisi kehidupan. Sungguh kita
semua kelak akan menghadap Allah sendiri-sendiri untuk mempertang-gungjawabkan
seluruh aktivitas yang kita lakukan. Pada hari itu, hari yang tidak diragukan
lagi kedatangannya, yaitu hari kiamat, tidak akan bermanfaat harta benda yang
dikumpul-kumpulkan dan anak yang dibangga-banggakan kecuali bagi orang yang
menghadap Allah dengan hati yang salim, hati yang betul-betul bersih dari syirik
sebagaimana firmanNya dalam Surat Asy-Syu’aro ayat 88-89:
(Yaitu) di hari
harta dan anak laki-laki tidak berguna, kecuali bagi orang-orang yang menghadap
Allah dengan hati yang bersih. (Asy-Syu’ara’: 88-89)
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullahDalam
kesempatan khutbah Jum’at kali ini saya akan membahas tentang hubungan antara
dosa dan bencana yang menimpa umat manusia sebagaimana yang diterangkan di dalam
Al-Qur’an. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman dalam Surat Ar-Ruum ayat 41 yang
berbunyi:
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar)”
Allah juga berfirman dalam Surat An-Nahl ayat
112:
Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah
negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizkinya datang kepadanya melimpah
ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah,
karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan,
disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”
Seorang ulama’ yang bernama Syaikh Muhammad
bin Jamil Zainu memberi ulasan terhadap kedua ayat tersebut dengan mengatakan:
“Ayat-ayat yang mulia ini memberi pengertian kepada kita bahwa Allah itu Maha
Adil dan Maha Bijaksana, Ia tidak akan menurunkan bala’ dan bencana atas suatu
kaum kecuali karena perbuatan maksiat dan pelanggaran mereka terhadap
perintah-perintah Allah” (Jalan Golongan Yang Selamat,
1998:149)
Kebanyakan orang memandang berbagai macam
musibah yang menimpa manusia hanya dengan logika berpikir yang bersifat
rasional, terlepas dari tuntutan Wahyu Ilahi. Misalnya terjadinya becana alam
berupa letusan gunung berapi, banjir, gempa bumi, kekeringan, kelaparan dan
lain-lain, dianggap sebagai fenomena kejadian alam yang bisa dijelaskan secara
rasional sebab-sebabnya. Demikian dengan krisis yang berkepanjangan, yang
menimbulkan berbagai macam dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat,
sehingga masyarakat tidak merasakan kehidupan aman, tenteram dan sejahtera,
hanya dilihat dari sudut pandang logika rasional manusia. Sehingga,
solusi-solusi yang diberikan tidak mengarah pada penghilangan sebab-sebab utama
yang bersifat transendental yaitu kemaksiatan umat manusia kepada Allah
Subhannahu wa Ta'ala Sang Pencipta Jagat Raya, yang ditanganNyalah seluruh
kebaikan dan kepadaNya lah dikembalikan segala urusan.
Bila umat manusia masih terus menerus
menentang perintah-perintah Allah, melanggar larangan-laranganNya, maka bencana
demi bencana, serta krisis demi krisis akan datang silih berganti sehingga
mereka betul-betul bertaubat kepada Allah.
Ikhwani fid-din rahimakumullah
Marilah
kita lihat keadaan di sekitar kita. Berbagai macam praktek kemaksiatan terjadi
secara terbuka dan merata di tengah-tengah masyarakat. Perjudian marak
dimana-mana, prostitusi demikian juga, narkoba merajalela, pergaulan bebas
semakin menjadi-jadi, minuman keras menjadi pemandangan sehari-hari, korupsi dan
manipulasi telah menjadi tradisi serta pembunuhan tanpa alasan yang benar telah
menjadi berita setiap hari.
Pertanyaannya sekarang, mengapa segala
kemungkaran ini bisa merajalela di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas
muslim ini? Jawabannya adalah tidak ditegakkannya kewajiban yang agung dari
Allah Subhannahu wa Ta'ala yaitu amar ma’ruf nahi mungkar, secara serius baik
oleh individu maupun pemerintah sebagai institusi yang paling bertanggung jawab
dan paling mampu untuk memberantas segala macam kemungkaran secara efektif dan
efisien. Karena pemerintah memiliki kekuatan dan otoritas untuk melakukan,
meskipun kewajiban mengingkari kemungkaran itu merupakan kewajiban setiap
individu muslim sebagaimana sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam
:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ
مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ.
Artinya: “Barangsiapa di antara kalian
melihat kemungkaran, hendaklah merubahnya dengan tangannya, bila tidak mampu
ubahlah dengan lisannya, bila tidak mampu ubahlah dengan hatinya, dan itulah
selemah-lemahnya iman” (Hadits shahih riwayat Muslim)
Namun harus diketahui bahwa memberantas
kemungkaran yang sudah merajalela tidak hanya dilakukan oleh individu-individu,
karena kurang efektif dan kadang-kadang beresiko tinggi. Sehingga kewajiban amar
ma’ruf nahi mungkar itu bisa dilakukan secara sempurna dan efektif oleh
pemerintah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Usman bin Affan Radhiallaahu anhu,
khalifah umat Islam yang ketiga:
“Sesungguhnya Allah mencegah dengan sulthan
(kekuasaan) apa yang tidak bisa dicegah dengan Al-Qur’an”
Disamping itu amar ma’ruf nahi mungkar
merupakan salah satu tugas utama sebuah pemerintahan, sebagaimana dikatakan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
“Sesungguhnya kekuasaan mengatur masyarakat
adalah kewajiban agama yang paling besar, karena agama tidak dapat tegak tanpa
negara. Dan karena Allah mewajibkan menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar,
menolong orang-orang teraniaya. Begitu pula kewajiban-kewajiban lain seperti
jihad, menegakkan keadilan dan penegakan sanksi-sanksi atau perbuatan pidana.
Semua ini tidak akan terpenuhi tanpa adanya kekuatan dan pemerintahan” (As
Siyasah Asy Syar’iyah, Ibnu Taimiyah: 171-173).
Apabila kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar
itu tidak dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka sebagai akibatnya Allah akan
menimpakan adzab secara merata baik kepada orang-orang yang melakukan
kemungkaran ataupun tidak. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi
wasalam, dalam sebuah haditst Hasan riwayat Tarmidzi:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ
بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ
لَيُوْشَكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ
فَلاَ يُسْتَجَابَ لَكُمْ.
Artinya: “Demi Allah yang diriku berada di
tanganNya! Hendaklah kalian memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari
yang mungkar atau Allah akan menurunkan siksa kepada kalian, lalu kalian berdo’a
namun tidak dikabulkan”.
Demikian pula Allah menegaskan di dalam QS.
Al-Maidah ayat: 78-79, bahwa salah satu sebab dilaknatnya suatu bangsa adalah
bila bangsa tersebut meninggalkan kewajiban saling melarang perbuatan mungkar
yang muncul di kalangan mereka.
Artinya: “Telah dilaknati orang-orang kafir
dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu
disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. Mereka satu sama lain tidak
melarang perbuatan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa
yang mereka perbuat”
Yang dimaksud laknat adalah dijauhkan dari
rahmat Allah Subhannahu wa Ta'ala . Dengan demikian supaya bangsa ini bisa
keluar dan terhindar dari berbagai krisis dalam kehidupan di segala bidang dan
selamat dari beragam musibah dan bencana, hendaklah seluruh kaum muslimin dan
para pemimpin atau penguasa mereka, bertaubat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala
dengan memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang perbuatan-perbuatan mungkar
sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing, mentaati Allah Ta’ala dan
menjauhi seluruh larangan-larangan dalam seluruh aspek
kehidupan.
بَارَكَ اللهُ لِيْ
وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ
اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ
خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.
Materi disampaikan pada hari Jum'at 13 Juli 2012
di Masjid Al-Fath Pontada Sorowako.